Pelanggaran Pelanggaran HAM di
INDONESIA
Kasus pelanggaran HAM ini dapat
dikategorikan dalam dua jenis, yaitu :
a. Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :
- Pembunuhan masal (genisida)
- Pembunuhan sewenang-wenang atau
di luar putusan pengadilan
- Penyiksaan
- Penghilangan orang secara paksa
- Perbudakan atau diskriminasi
yang dilakukan secara sistematis
b. Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :
- Pemukulan
- Penganiayaan
- Pencemaran nama baik
- Menghalangi orang untuk
mengekspresikan pendapatnya
- Menghilangkan nyawa orang lain
Peristiwa pelanggaran HAM yang mendapat perhatian
tinggi dari masyarakat Indonesia
A. Kasus Tanjung Priok
Kasus tanjung Priok terjadi
tahun 1984 antara aparat dengan warga sekitar yang berawal dari masalah SARA
dan unsur politis. Dalam peristiwa ini diduga terjadi pelanggaran HAM dimana
terdapat rarusan korban meninggal dunia akibat kekerasan dan penembakan.
B. Kasus terbunuhnya
Marsinah, seorang pekerja wanita PT Catur Putera Surya Porong, Jatim
Marsinah adalah salah satu
korban pekerja dan aktivitas yang hak-hak pekerja di PT Catur Putera Surya,
Porong Jawa Timur. Dia meninggal secara mengenaskan dan diduga menjadi korban
pelanggaran HAM berupa penculikan, penganiayaan dan pembunuhan.
C.
Kasus terbunuhnya wartawan Udin dari harian umum bernas
Wartawan Udin (Fuad Muhammad
Syafruddin) adalah seorang wartawan dari harian Bernas yang diduga diculik,
dianiaya oleh orang tak dikenal dan akhirnya ditemukan sudah tewas.
D. Peristiwa
Aceh
Peristiwa yang terjadi di Aceh sejak
tahun 1990 telah banyak memakan korban, baik dari pihak aparat maupun
penduduk sipil yang tidak berdosa. Peristiwa Aceh diduga dipicu oleh unsur
politik dimana terdapat pihak-pihak tertentu yang menginginkan Aceh merdeka.
E. Peristiwa
penculikan para aktivis politik
Telah terjadi peristiwa
penghilangan orang secara paksa (penculikan) terhadap para aktivis yang
menurut catatan Kontras ada 23 orang (1 orang meninggal, 9 orang dilepaskan,
dan 13 orang lainnya masih hilang).
F. Peristiwa
Trisakti dan Semanggi
Tragedi Trisakti terjadi pada
12 Mei 1998 (4 mahasiswa meninggal dan puluhan lainnya luka-luka). Tragedi
Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998 (17 orang warga sipil meninggal)
dan tragedi Semanggi II pada 24 September 1999 (1 orang mahasiswa meninggal
dan 217 orang luka-luka).
G. Peristiwa
kekerasan di Timor Timur pasca jejak pendapat
Kasus pelanggaran Hak Asasi
Manusia menjelang dan pasca jejak pendapat 1999 di timor timur secara resmi
ditutup setelah penyerahan laporan komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP)
Indonesia - Timor Leste kepada dua kepala negara terkait.
H.
Kasus Ambon
Peristiwa yang terjadi di Ambon
ni berawal dari masalah sepele yang merambat kemasala SARA, sehingga
dinamakan perang saudara dimana telah terjadi penganiayaan dan pembunuhan
yang memakan banyak korban.
i. Kasus Poso
Telah terjadi bentrokan di Poso
yang memakan banyak korban yang diakhiri dengan bentuknya Forum Komunikasi
Umat Beragama (FKAUB) di kabupaten Dati II Poso.
J. Kasus
Dayak dan Madura
Terjadi bentrokan antara suku
dayak dan madura (pertikaian etnis) yang juga memakan banyak korban dari
kedua belah pihak.
K. Kasus TKI di Malaysia
Terjadi peristiwa penganiayaan
terhadap Tenaga Kerja Wanita Indonesia dari persoalan penganiayaan oleh
majikan sampai gaji yang tidak dibayar.
Contoh
kasus pelanggaran HAM dilingkungan keluarga antara lain:
- Orang
tua yang memaksakan keinginannya kepada anaknya (tentang masuk sekolah,
memilih pekerjaan, dipaksa untuk bekerja, memilih jodoh).
- Orang
tua menyiksa/menganiaya/membunuh anaknya sendiri.
- Anak
melawan/menganiaya/membunuh saudaranya atau orang tuanya sendiri.
- Majikan
dan atau anggota keluarga memperlakukan pembantunya sewenang-wenang
dirumah.
Contoh
kasus pelanggaran HAM di sekolah antara lain :
- Guru
membeda-bedakan siswanya di sekolah (berdasarkan kepintaran, kekayaan,
atau perilakunya).
- Guru
memberikan sanksi atau hukuman kepada siswanya secara fisik (dijewer,
dicubit, ditendang, disetrap di depan kelas atau dijemur di tengah
lapangan).
- Siswa
mengejek/menghina siswa yang lain.
- Siswa
memalak atau menganiaya siswa yang lain.
- Siswa
melakukan tawuran pelajar dengan teman sekolahnya ataupun dengan siswa
dari sekolah yang lain.
Contoh kasus pelanggaran HAM di masyarakat antara lain :
- Pertikaian
antarkelompok/antargeng, atau antarsuku(konflik sosial).
- Perbuatan
main hakim sendiri terhadap seorang pencuri atau anggota masyarakat yang
tertangkap basah melakukan perbuatan asusila.
- Merusak
sarana/fasilitas umum karena kecewa atau tidak puas dengan kebijakan
yang ada.
|
PELANGGARAN HAM OLEH TNI
Umumnya terjadi pada masa pemerintahan PresidenSuharto, dimana (dikemudian hari berubah menjadi TNI dan
Polri) menjadi alat untuk menopang kekuasaan. Pelanggaran HAM oleh TNI mencapai
puncaknya pada akhir masa pemerintahan Orde Baru, dimana perlawanan rakyat
semakin keras.
CONTOH KASUS KASUS HAM
KASUS PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI MALUKU
Konflik dan kekerasan yang terjadi di Kepulauan Maluku sekarang telah berusia 2
tahun 5 bulan; untuk Maluku Utara 80% relatif aman, Maluku Tenggara 100% aman dan relatif stabil,
sementara di kawasan Maluku Tengah (Pulau Ambon, Saparua, Haruku, Seram dan
Buru) sampai saat ini masih belum aman dan khusus untuk Kota Ambon sangat sulit
diprediksikan, beberapa waktu yang lalu sempat tenang tetapi sekitar 1 bulan
yang lalu sampai sekarang telah terjadi aksi kekerasan lagi dengan modus yang
baru ala ninja/penyusup yang melakukan operasinya di daerah – daerah perbatasan
kawasan Islam dan Kristen (ada indikasi tentara dan masyarakat biasa).
Penyusup masuk ke wilayah perbatasan dan melakukan
pembunuhan serta pembakaran rumah. Saat ini masyarakat telah membuat sistem
pengamanan swadaya untuk wilayah pemukimannya dengan membuat barikade-barikade
dan membuat aturan orang dapat masuk/keluar dibatasi sampai jam 20.00, suasana
kota sampai saat ini masih tegang, juga masih terdengar suara tembakan atau bom
di sekitar kota.
Akibat konflik/kekerasan ini tercatat 8000 orang
tewas, sekitar 4000 orang luka – luka, ribuan rumah, perkantoran dan pasar
dibakar, ratusan sekolah hancur serta terdapat 692.000 jiwa sebagai korban
konflik yang sekarang telah menjadi pengungsi di dalam/luar Maluku.
Masyarakat kini semakin tidak percaya dengan
dengan upaya – upaya penyelesaian konflik yang dilakukan karena
ketidak-seriusan dan tidak konsistennya pemerintah dalam upaya penyelesaian
konflik, ada ketakutan di masyarakat akan diberlakukannya Daerah Operasi
Militer di Ambon dan juga ada pemahaman bahwa umat Islam dan Kristen akan
saling menyerang bila Darurat Sipil dicabut.
Banyak orang sudah putus asa, bingung dan trauma
terhadap situasi dan kondisi yang terjadi di Ambon ditambah dengan
ketidak-jelasan proses penyelesaian konflik serta ketegangan yang terjadi saat
ini.
Komunikasi sosial masyarakat tidak jalan dengan
baik, sehingga perasaan saling curiga antar kawasan terus ada dan selalu bisa
dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang menginginkan konmflik jalan terus.
Perkembangan situasi dan kondisis yang terakhir tidak ada pihak yang
menjelaskan kepada masyarakat tentang apa yang terjadi sehingga masyrakat
mencari jawaban sendiri dan membuat antisipasi sendiri.
Wilayah pemukiman di Kota Ambon sudah terbagi 2
(Islam dan Kristen), masyarakat dalam melakukan aktifitasnya selalu
dilakukan dilakukan dalam kawasannya hal ini terlihat pada aktifitas ekonomi
seperti pasar sekarang dikenal dengan sebutan pasar kaget yaitu pasar yang
muncul mendadak di suatu daerah yang dulunya bukan pasar hal ini sangat
dipengaruhi oleh kebutuhan riil masyarakat; transportasi menggunakan jalur laut
tetapi sekarang sering terjadi penembakan yang mengakibatkan korban luka dan
tewas; serta jalur – jalur distribusi barang ini biasa dilakukan diperbatasan
antara supir Islam danKristen tetapi sejak 1 bulan lalu sekarang tidak lagi juga
sekarang sudah ada penguasa – penguasa ekonomi baru pasca konflik.
Pendidikan sangat sulit didapat oleh anak – anak
korban langsung/tidak langsung dari konflik karena banyak diantara mereka sudah
sulit untukmengakses sekolah,
masih dalam keadaan trauma, program PendidikanAlternatif Maluku sangat
tidak membantu proses perbaikan mental anak malah menimbulkan masalah baru di
tingkat anak (beban belajar bertambah) selain itu masyarakat membuat penilaian
negatif terhadap aktifitas NGO (PAM dilakukan oleh NGO).
Masyarakat Maluku sangat
sulit mengakses pelayanan kesehatan, dokter dan obat – obatan tidak
dapat mencukupi kebutuhan masyarakat dan harus diperoleh dengan harga yang
mahal; puskesmas yang ada banyak yang tidak berfungsi.
Belum ada media informasi yang dianggap independent oleh
kedua pihak, yang diberitakan oleh media cetak masih dominan berita untuk
kepentingan kawasannya (sesuai lokasi media), ada media yang selama ini
melakukan banyak provokasi tidak pernah ditindak oleh Penguasa Darurat Sipil
Daerah (radio yang selama ini digunakan oleh Laskar Jihad (radio SPMM/Suara
Pembaruan MuslimMaluku).
PELANGGARAN HAM ATAS NAMA AGAMA
Kita memiliki banyak sejarah gelap agamawi, entah
itu dari kalangan gereja Protestan maupun gereja Katolik, entah dari aliran
lainnya. Bahwa kadang justru dengan simbol agamawi, kita melupakan kasih, yaitu
kasih yang menjadi ‘atribut’ Tuhan kita Yesus Kristus. Hal-hal ini
dicatat dalam buku sejarah dan beberapa kali kisah-kisah tentang kekejaman
gereja difilmkan. Salah satu contohnya dalam film The Scarlet Letter, film tentang hyprocricy Gereja Potestan yang
‘menghakimi’ seorang pezinah dan kelompok-kelompok yang dianggap bidat, adalagi
filmThe Magdalene Sisters, juga film A Song for A Raggy Boy, The Headman, “The
Name of the Rose” , dan masih banyak lainnya. Kini, telah hadir film yang
lumayan baru, yang diproduksi oleh Saul Zaentz dan disutradarai oleh Milos Forman,
dua nama ini cukup memberi jaminan bahwa film yang dibuat mereka selalu bagus
yaitu film GOYA’s GOST.
Mungkin saja film GOYA’s GOST ini akan membuat
‘marah’ sebagian kelompok, namun apa yang dikemukakan oleh Zaentz dan Forman,
sebagaimana kekejaman “Inkuisisi” telah tercatat dalam sejarah hitam Gereja.
Kisah-kisah kekejamannya juga terekam dalam lukisan-lukisan karya Seniman Spanyol
Francisco Goya (1746–1828 ), yang menjadi tokoh sentral dari film GOYA’s GOST
ini.
Kita telah mengenal banyak sekelompok manusia
dengan atribut agama, berlindung dalam lembaga agama, mereka justru melakukan
kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) entah itu Kristen,
Islam atau agama apapun. Atas nama ‘agama yang suci’ mereka melakukan
‘pelecehan yang tidak suci’ kepada sesamanya manusia. Akhir abad 20 atau awal
abad 21, akhir-akhir ini kita disuguhi sajian-sajian berita akan kebobrokan
manusia yang beragama melanggar hak asasi manusia, misalnya kelompok Al-Qaeda
dan sejenisnya menteror dengan bom, dan olehnya mungkin sebagian dari kita
telah prejudice menempatkan orang-orang Muslim di sekitar kita sama jahatnya
dengan kelompok ‘Al-Qaeda’. Di sisi lain Amerika Serikat (AS) sebagai ‘polisi
dunia’ sering memakai ‘isu terorisme yang dilakukan Al-Qaeda’ untuk melancarkan
macam-macam agendanya. Invasi AS ke Iraq, penyerangan ke Afganistan dan
negara-negara lain yang disinyalir ‘ada terorisnya’. Namun kehadiran pasukan AS
dan sekutunya di Iraq tidak berdampak baik, mungkin pada awalnya terlihat AS
dengan sejatanya yang super-canggih menguasai Iraq dalam sekejap, namun pasukan
mereka babak-belur dalam ‘perang-kota’, ini mengingatkan kembali sejarah buruk,
dimana mereka juga kalah dalam perang gerilya di Vietnam. Kegagalan
pasukan AS mendapat kecaman dari dalam negeri, bahkan sekutunya, Inggris
misalnya. Tekanan-tekanan ini membuat PM Inggris Tony Blair memilih mengakhiri
karirnya sebelum waktunya baru-baru ini. Karena ia berada dalam posisi yang
sulit : menuruti tuntutan dalam negeri ataukah menuruti tuan Bush.
Memang kita akui banyak kebrutalan yang dilakukan
oleh para teroris kalangan Islam Fundamentalis, contoh Bom Bali dan sejenisnya
di seluruh dunia. Tapi tidak menutup kemungkinan Presiden Amerika
Serikat, George
Bush adalah juga seorang ‘Fundamenalis’ dalam ‘Agama’ yang
dianutnya, karena gaya Bush yang sering ‘secara implisit’ terbaca dimana ia
menempakan dirinya sebagai penganut Kristiani yang memerangi terorisme dari
para teroris Muslim Fundamentalis. Tentu saja apa-apa yang mengandung
“fundamentalis” entah itu Islam/ Kristen/ agama yang lain, bermakna tidak baik.
Sebelumnya, ditengah-tengah ‘isu anti terorisme
(Islam)’, sutradara Inggris, Ridley Scott memproduksi film The Kingdom of Heaven, barangkali bisa juga digunakan untuk menyindir Presiden Bush yang
sering menggunakan kata“crusades” dalam pidatonya. Film The Kingdom
of Heaven adalah sebuah ‘otokritik’ bagi Kekristenan, dan sajian
‘ironisme’ dari ajaran Kristus yang penuh kasih. Bahwa perang Salib yang telah
terjadi selama 4 abad itu bukanlah suatu kesaksian yang baik, tetapi lebih
merupakan sejarah hitam.
Dibawah ini review dari sebuah film, tentang
kejahatan dibawah payung Agama, bukan berniat melecehkan suatu Agama/ Aliran
tertentu, melainkan sebagai perenungan apakah perlakuan seseorang
melawan/menindas orang lain yang tidak ‘seagama’ itu tujuannya membela Allah?
membela tradisi? membela doktrin, ataukah membela diri sendiri?
PELANGGARAN HAM OLEH MANTAN GUBERNUR TIM-TIM
Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timtim, yang diadili oleh
Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc di Jakarta atas dakwaan pelanggaran
HAM berat di Timtim dan dijatuhi vonis 3 tahun penjara. Sebuah keputusan majelis
hakim yang bukan saja meragukan tetapi juga menimbulkan tanda tanya besar
apakah vonis hakim tersebut benar-benar berdasarkan rasa keadilan atau hanya
sebuah pengadilan untuk mengamankan suatu keputusan politik yang dibuat
Pemerintah Indonesia waktu itu dengan mencari kambing hitam atau tumbal
politik. Beberapa hal yang dapat disimak dari keputusan pengadilan tersebut
adalah sebagai berikut ini.
Pertama, vonis hakim terhadap terdakwa Abilio
sangat meragukan karena dalam Undang-Undang (UU) No 26/2000 tentang Pengadilan
HAM Pasal 37 (untuk dakwaan primer) disebutkan bahwa pelaku pelanggaran berat
HAM hukuman minimalnya adalah 10 tahun sedangkan menurut pasal 40 (dakwaan
subsider) hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama dengan tuntutan jaksa. Padahal
Majelis Hakim yang diketuai Marni Emmy Mustafa menjatuhkan vonis 3 tahun
penjara dengan denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio Soares.
Bagi orang yang awam dalam bidang hukum, dapat
diartikan bahwa hakim ragu-ragu dalam mengeluarkan keputusannya. Sebab alternatifnya
adalah apabila terdakwa terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM berat
hukumannya minimal 10 tahun dan apabila terdakwa tidak terbukti bersalah ia
dibebaskan dari segala tuduhan.
Kedua, publik dapat merasakan suatu perlakuan
“diskriminatif” dengan keputusan terhadap terdakwa Abilio tersebut karena
terdakwa lain dalam kasus pelanggaran HAM berat Timtim dari anggota TNI dan
Polri divonis bebas oleh hakim. Komentar atas itu justru datang dari Jose Ramos
Horta, yang mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kemungkinan hanya rakyat Timor
Timur yang akan dihukum di Indonesia yang mendukung berbagai aksi kekerasan
selama jajak pendapat tahun 1999 dan yang mengakibatkan sekitar 1.000 tewas. Horta mengatakan, “Bagi saya bukan fair atau tidaknya
keputusan tersebut. Saya hanya khawatir rakyat Timor Timur yang akan membayar
semua dosa yang dilakukan oleh orang Indonesia”
Kontroversi
G30S
Di antara kasus-kasus pelanggaran berat HAM, perkara seputar peristiwa G30S
bagi KKR bakal menjadi kasus kontroversial. Dilema bisa muncul dengan
terlibatnya KKR untuk memangani kasus pembersihan para aktivis PKI.
Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam melihat, kalau
pembantaian sebelum 1 Oktober 1965 yang memakan banyak korban dari pihak Islam,
karena pelakunya sama-sama sipil, lebih mudah rekonsiliasi. ”Anggaplah kasus
ini selesai,” jelasnya. Persoalan muncul ketika KKR mencoba menyesaikan
pembantaian yang terjadi pasca G30S.
Asvi menjelaskan, begitu Soeharto pada 1 Oktober
1965 berhasil menguasai keadaan, sore harinya keluar pengumuman Peperalda Jaya
yang melarang semua surat kabar terbit –kecuali Angkatan Bersenjata (AB) dan
Berita Yudha. Dengan begitu, seluruh informasi dikuasai tentara.
Berita yang terbit oleh kedua koran itu kemudian
direkayasa untuk mengkambinghitamkan PKI sebagai dalang G30S yang didukung
Gerwani sebagai simbol kebejatan moral. Informasi itu kemudian diserap oleh
koran-koran lain yang baru boleh terbit 6 Oktober 1965.
Percobaan kudeta 1 Oktober, kemudian diikuti
pembantaian massal di Indonesia. Banyak sumber yang memberitakan perihal jumlah
korban pembantaian pada 1965/1966 itu tidak mudah diketahui secara persis. Dari
39 artikel yang dikumpulkan Robert Cribb (1990:12) jumlah korban berkisar
antara 78.000 sampai dua juta jiwa, atau rata-rata 432.590 orang.
Cribb mengatakan, pembantaian itu dilakukan dengan
cara sederhana. ”Mereka menggunakan alat pisau atau golok,” urai Cribb. Tidak
ada kamar gas seperti Nazi. Orang yang dieksekusi juga tidak dibawa ke tempat
jauh sebelum dibantai. Biasanya mereka terbunuh di dekat rumahnya. Ciri lain,
menurutnya, ”Kejadian itu biasanya malam.” Proses pembunuhan berlangsung cepat,
hanya beberapa bulan. Nazi memerlukan waktu bertahun-tahun dan Khmer Merah
melakukannya dalam tempo empat tahun.
Cribb menambahkan, ada empat faktor yang menyulut
pembantaian masal itu. Pertama, budaya amuk massa, sebagai unsur penopang
kekerasan. Kedua, konflik antara golongan komunis dengan para pemuka agama
islam yang sudah berlangsung sejak 1960-an. Ketiga, militer yang diduga
berperan dalam menggerakkan massa. Keempat, faktor provokasi media yang
menyebabkan masyarakat geram.
Peran media militer, koran AB dan Berita Yudha,
juga sangat krusial. Media inilah yang semula menyebarkan berita sadis tentang
Gerwani yang menyilet kemaluan para Jenderal. Padahal, menurut Cribb,
berdasarkan visum, seperti diungkap Ben Anderson (1987) para jenazah itu hanya
mengalami luka tembak dan memar terkena popor senjata atau terbentur dinding
tembok sumur. Berita tentang kekejaman Gerwani itu memicu kemarahan massa.
Karena itu, Asvi mengingatkan bahwa peristiwa
pembunuhan massal pada 1965/66 perlu dipisahkan antara konflik antar masyarakat
dengan kejahatan yang dilakukan oleh negara. Pertikaian antar masyarakat, meski
memakan banyak korban bisa diselesaikan. Yang lebih parah adalah kejahatan yang
dilakukan negara terhadap masyarakat, menyangkut dugaan keterlibatan militer
(terutama di Jawa Tengah) dalam berbagai bentuk penyiksaan dan pembunuhan.
Menurut Cribb, dalam banyak kasus, pembunuhan baru
dimulai setelah datangnya kesatuan elit militer di tempat kejadian yang
memerintahkan tindakan kekerasan. ”Atau militer setidaknya memberi contoh,”
ujarnya. Ini perlu diusut. Keterlibatan militer ini, masih kata Cribb, untuk
menciptakan kerumitan permasalahan. Semakin banyak tangan yang berlumuran darah
dalam penghancuran komunisme, semakin banyak tangan yang akan menentang
kebangkitan kembali PKI dan dengan demikian tidak ada yang bisa dituduh sebagai
sponsor pembantaian.
Sebuah sarasehan Generasi Muda Indonesia yang
diselenggarakan di Univesitas Leuwen Belgia 23 September 2000 dengan tema
”Mawas Diri Peristiwa 1965: Sebuah Tinjauan Ulang Sejarah”, secara tegas
menyimpulkan agar dalam memandang peristiwa G30S harus dibedakan antara
peristiwa 1 Oktober dan sesudahnya, yaitu berupa pembantaian massal yang
dikatakan tiada taranya dalam sejarah modern Indonesia, bahkan mungkin dunia,
sampai hari ini.
Peritiwa inilah, simpul pertemuan itu, merupakan
kenyataan gamblang yang pernah disaksikan banyak orang dan masih menjadi memoar
kolektif sebagian mereka yang masih hidup.
Hardoyo, seorang mantan anggota DPRGR/MPRS dari
Fraksi Golongan Karya Muda, satu ide dengan hasil pertemuan Belgia. ”Biar adil
mestinya langkah itu yang kita lakukan.”
Mantan tahanan politik 1966-1979 ini kemudian
bercerita. “saya pernah mewawancarai seorang putera dari sepasang suami-isteri
guru SD di sebuah kota di Jawa Tengah. Sang ayah yang anggota PGRI itu dibunuh
awal November 1965. Sang ibu yang masih hamil tua sembilan bulan dibiarkan
melahirkan putera terakhirnya, dan tiga hari setelah sang anak lahir ia diambil
dari rumah sakit persalinan dan langsung dibunuh.”
Menurut pengakuan sang putera yang pada 1965
berusia 14 tahun, keluarga dari pelaku pembunuhan orang tuanya itu mengirim
pengakuan bahwa mereka itu terpaksa melakukan pembunuhan karena diperintah
atasannya. Sedangkan Ormas tertentu yang menggeroyok dan menangkap orang tuanya
mengatakan bahwa mereka diperintah oleh pimpinannya karena jika tidak merekalah
yang akan dibunuh. Pimpinannya itu kemudian mengakui bahwa mereka hanya
meneruskan perintah yang berwajib.
Hardoyo menambahkan: kemudian saya tanya,
”Apakah Anda menyimpan dendam?” Sang anak menjawab, ”Semula Ya.” Tapi setelah
kami mempelajari masalahnya, dendam saya hilang. ”Mereka hanyalah pelaksana
yang sebenarnya tak tahu menahu masalahnya.” Mereka, tambah Hardoyo, juga
bagian dari korban sejarah dalam berbagai bentuk dan sisinya.
Bisa jadi memang benar, dalam soal G30S atau soal
PKI pada umumnya, peran KKR kelak harus memilah secara tegas, pasca 1 Oktober
versus sebelum 1 Oktober.
Pembantaiaan
Rawagede
Peristiwa
ini merupakan pelanggaran HAM berupa penembakan beserta pembunuhan terhadap
penduduk kampung Rawagede (sekarang Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang, Jawa
Barat) oleh tentara Belanda pada tanggal 9 Desember 1947 diringi dengan
dilakukannya Agresi Militer Belanda I. Puluhan warga sipil terbunuh oleh
tentara Belanda yang kebanyakan dibunuh tanpa alasan yang jelas. Pada 14
September 2011, Pengadilan Den Haag menyatakan bahwa pemerintah Belanda
bersalah dan harus bertanggung jawab. Pemerintah Belanda harus membayar ganti
rugi kepada para keluarga korban pembantaian RawageDE
Pembantaian Massal Komunis (PKI)
Pembantaian ini
merupakan peristiwa pembunuhan dan penyiksaan terhadap orang yang dituduh
sebagai anggota komunis di Indonesia yang pada saat itu Partai Komunis
Indonesia (PKI) menjadi salah satu partai komunis terbesar di dunia dengan
anggotanya yang berjumlah jutaan. Pihak militer mulai melakukan operasi dengan
menangkap anggota komunis, menyiksa dan membunuh mereka. Sebagian banyak orang
berpendapat bahwa Soeharto diduga kuat menjadi dalang dibalik pembantaian 1965
ini. Dikabarkan sekitar satu juta setengah anggota komunis meninggal dan
sebagian menghilang. Ini jelas murni terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Kasus Dukun Santet di Banyuwangi
Peristiwa
beserta pembunuhan ini terjadi pada tahun 1998. Pada saat itu di Banyuwangi
lagi hangat-hangatnya terjadi praktek dukun santet di desa-desa mereka. Warga
sekitar yang berjumlah banyak mulai melakukan kerusuhan berupa penangkapan dan
pembunuhan terhadap orang yang dituduh sebagai dukun santet. Sejumlah orang
yang dituduh dukun santet dibunuh, ada yang dipancung, dibacok bahkan dibakar
hidup-hidup. Tentu saja polisi bersama anggota TNI dan ABRI tidak tinggal diam,
mereka menyelamatkan orang yang dituduh dukun santet yang masih selamat dari
amukan warga.
Kasus Bulukumba
Kasus Bulukumba
merupakan kasus yang terjadi pada tahun 2003. Dilatar belakangi oleh PT. London
Sumatra (Lonsum) yang melakukan perluasan area perkebunan, namun upaya ini
ditolak oleh warga sekitar. Polisi Tembak Warga di Bulukumba. Anggota Brigade
Mobil Kepolisian Resor Bulukumba, Sulawesi Selatan, dilaporkan menembak seorang
warga Desa Bonto Biraeng, Kecamatan Kajang, Bulukumba, Senin (3 Oktober 2011)
sekitar pukul 17.00 Wita. Ansu, warga yang tertembak tersebut, ditembak di
bagian punggung. Warga Kajang sejak lama menuntut PT London mengembalikan tanah
mereka.
Peristiwa Abepura, Papua
PERISTIWA ini
terjadi di Abepura, Papua pada tahun 2003. Terjadi akibat penyisiran yang
membabi buta terhadap pelaku yang diduga menyerang Mapolsek Abepura. Komnas HAM
menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM di peristiwa Abepura.
Kerusuhan Timor-Timur Pasca Jejak
Pendapat
Kerusuhan ini
terjadi pada tahun 1999. Dilatar belakangi oleh Agresi Militer dan puluhan warga
sipil meninggal dan sebagian luka-luka.
Kasus Timor-Timur Pasca Referendum
Perisiwa yang
terjadi pada tahun 1974-1999 memakan ratusan ribu korban jiwa. Peristiwa yang
dimulai dari Agresi Militer oleh TNI (Operasi Seroja) terhadap pemerintahan
Fretelin yang sah di Timor-Timur. Sejak saat itu Timor-Timur selalu menjadi
daerah operasi militer rutin yang rawan terhadap tindak kekerasan.
Kasus-kasus di Papua
Pada tahun 1966,
kasus-kasus di Papua telah memakan ribuan korban jiwa. Peristiwa ini terjadi
akibat Operasi instensif yang dilakukan TNI untuk menghadapi Organisasi Papua
Merdeka (OPM). Sebagian lagi berkaitan dengan masalah penguasaan sumber daya
alam antar perusahaan tambang internasional, aparat pemerintah menghadapi warga
sipil.
Kasus-kasus di Aceh pra DOM
Terjaadi pada
tahun 1976-1989, memakan banyak ribuan korban jiwa. Peristiwa yang terjadi
semenjak dideklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Hasan Di Tiro, Aceh selalu
menjadi daerah operasi militer dengan itensitas kekerasan yang tinggi.
Penembakan Misterius (Petrus)
Diantara tahun
1982-1985, peristiwa ini mulai terjadi. ‘Petrus’ adalah sebuah peristiwa
penculikan, penganiayaan dan penembakan terhadap para preman yang sering
menganggu ketertiban masyarakat. Pelakunya tidak diketahui siapa, namun
kemungkinan pelakunya adalah aparat kepolisian yang menyamar (tidak memakai
seragam). Kasus ini termasuk pelanggaran HAM, karena banyaknya korban Petrus yang
meninggal karena ditembak. Kebanyakan korban Petrus ditemukan meninggal dengan
keadaan tangan dan lehernya diikat dan dibuang di kebun, hutan dan lain-lain.
Terhitung, ratusan orang yang menjadi korban Petrus, kebanyakan tewas karena
ditembak.
Kasus-kasus TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di
luar negeri
Ada beberapa kasus pelanggaran HAM yang
menimpa beberapa TKI yang bekerja di luar negeri. Telah terjadi banyak
penganiayaan, seperti dipukul, disetrika, diestrum listrik, pelecehan seksual,
pemerkosaan, bahkan pembunuhan terhadap para tenaga kerja Indonesia, meskipun
sudah ada Undang-Undang dari Pemerintah yang mengatur tentang perlindungan atas
TKI yang bekerja di luar negeri.